Sumber:http://airlinersgallery.files.wordpress.com
ETIKA BISNIS mulai ramai dibicarakan seputar tahun 80-an ketika dunia bisnis internasional terjadi penyimpangan yang melibatkan para pelaku bisnis di perusahaan kelas dunia. Salah satu kasus yang menghebohkan adalah skandal Lockheed. Begini ceritanya:
Pada pertengahan tahun 1960-an, Japan Airlines (JAL) dan All Nippon Airways (ANA) mengalami booming jumlah penumpang. Kedua perusahaan ini lalu membuat rencana membeli pesawat berbadan lebar. ANA merasa akan kalah bersaing dengan JAL-yang dimiliki oleh pemerintah-dalam pengadaan pesawat ini. Itu sebabnya mereka lalu menyuap Menteri Perhubunga,n Tomisaburo Hashimoto dan wakilnya Takayuki Sato. Usahanya berhasil. Pak menteri menunda permohonan ijin yang diajukan JAL untuk pengadaan pesawat. Hal ini memberikan waktu kepada ANA untuk membuka tender bagi pabrik-pabrik pesawat.
Ada tiga perusahaan besar yang ikut tender ini. McDonald Douglas, lewat perusahaan Mitsui, menawarkan DC-10; Boeing, lewat perusahaan Nissho Iwai, menjual seri 747; dan Lockheed, lewat perusahaan Marubeni, mengajukan TriStar.
Di dalam persaingan ini, Lockheed menjadi kuda hitam. Melihat peluang yang sangat tipis, Marubeni mengusulkan upaya rahasia. Lockheed setuju. Mereka lalu minta saran Yoshio Kodama (agen rahasia Lockheed yang membantu penjualan peralatan militer ke Jepang) . Kodama mengusulkan agar Lockheed-Marubeni menjalin kontak dengan Kenji Osano (staf Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka). Dengan imbalan $200,000(thn 1976), sebagai konsultan, Osano memberi kesempatan kepada Marubeni untuk bertemu langsung dengan Presdir ANA, Tokuji Wakasa.
Untuk jasa ini, Marubeni bermaksud memberikan uang ucapan terimakasih sebesar 500 juta yen atau sekitar $7.53 juta (tahun 1977) kepada Tanaka. Hiyama, presdir Marubeni, mengutus Toshiharu Okubo (Direktur Manajer) menemui A.C. Kotchian, presdir Lockheed untuk membicarakan “hadiah” ini. Kotchian setuju dengan rencana ini.
23 Agustus 1972, Hiyama menemui Tanaka dan menawarkan 500 juta yen sebagai jasa jika Tanaka bersedia mendorong ANA untuk membeli TriStars. Tanaka setuju. Dia lalu berbicara dengan Wakasa, presdir ANA. Sementara, Osano (asisten Tanaka) berusaha meyakinkan wakil presdir ANA, Watanabe. Dua bulan kemudian, ANA mengumumkan bahwa Lockheed memenangkan kontrak pengadaan pesawat ini.
Konspirasi tingkat tinggi ini dijalin dengan begitu rapi. Namun serapat-rapatnya orang membungkus bangkai, akhirnya tercium juga. Senat Amerika mencium bau tidak sedap ini. Mereka melakukan investigasi yang menghasilkan pengakuan Kotchian mengenai praktik bisnis yang kotor ini. Skandal ini lalu diekspos besar-besaran oleh media massa, sehinga memaksa Kakuei Tanaka mengundurkan diri. Sedangkan di Amerika, presiden komisaris Lockheed, Daniel Haughton mengundurkan diri. Orang-orang yang terlibat dalam skandal ini diseret ke muka pengadilan.
Namun rupanya praktik kotor ini tidak hanya sekali dilakukan oleh Lockheed. Di negeri Belanda, mereka menyuap pangeran Bernhard, supaya AU mereka memilih F-104G Starfighters, keluaran Lockheed, daripada pesawat Mirage V. Skandal inilah yang mendorong Amerika untuk membuat Undang-undang Anti-korupsi di Luar-negeri. Isinya melarang warga dan lembaga Amerika untuk memberikan suap kepada pemerintah negara asing.
Kejadian yang memalukan seperti ini mendorong para pakar psikologi, sosiologi, filsafat dan menajemen bisnis untuk mengkaji dan memperbaiki citra dunia bisnis. Bisnis bukan semata-mata berorientasi mengumpulkan materi dan keuntungan finansial, melainkan juga harus memerhatikan etika dan moralitas.
Pada kenyataannya, pelanggaran etika bisnis masih sering dijumpai di Indonesia. Praktik bisnis yang terjadi selama ini dinilai masih cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik tidak terpuji atau moral hazard. Pelanggaran etika yang sering dilakukan oleh pihak swasta, menurut ketua KPK [saat itu], Taufiequrachman Ruki, adalah penyuapan dan pemerasan. Berdasarkan data Bank Dunia, setiap tahun di seluruh dunia sebanyak US$ 1 triliun (sekitar Rp 9.000 triliun) habis diperuntukkan sebagai uang pelicin alias suap. Dana itu diyakini telah meningkatkan biaya operasional perusahaan. (Koran Tempo - 05/08/2006)
Di bidang keuangan, banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran etika. Dalam penelitian yang dilakukan olehErni Rusyani, terungkap bahwa hampir 61.9% dari 21 perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di BEJ tidak lengkap dalam menyampaikan laporan keuangannya (not avaliable).
Pelanggaran etika perusahaan terhadap pelanggannya di Indonesia merupakan fenomena yang sudah sering terjadi. Contohnya adalah kasus pelezat masakan merek ” A”. Kehalalan “A” dipersoalkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada akhir Desember 2000 setelah ditemukan bahwa pengembangan bakteri untuk proses fermentasi tetes tebu (molase), mengandung bactosoytone(nutrisi untuk pertumbuhan bakteri), yang merupakan hasil hidrolisa enzim kedelai terhadap biokatalisator porcine yang berasal dari pankreas babi.
Kasus lainnya, adalah produk minuman berenergi yang sebagian produknya diduga mengandung nikotin lebih dari batas yang diizinkan oleh Badan Pengawas Obat dan Minuman. Kita juga masih ingat, obat anti-nyamuk “H” yang dilarang beredar karena mengandung bahan berbahaya.
Kalau mau didaftari satu demi satu, masih banyak lagi pelanggaran hak-hak konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha. Selain itu, masih ada juga pelanggaran etika di bidang ketenaga-kerjaan dan lingkungan.
Dalam skala global, telah merebak kesadaran baru bahwa selain memiliki hak-hak sebagai konsumen, mereka juga memiliki kewajiban. Mereka menyadari bahwa perilaku konsumsi mereka dapat berpengaruh terhadap ketidak-adilan dan kerusakan lingkungan. Itu sebabnya, lapisan masyarakat yang terdidik mulai selektif di dalam mengkonsumsi suatu barang/jasa. Mereka tidak akan membeli barang yang diproduksi oleh perusahaan yang membalak hutan. Mereka menolak produk dari pabrik yang tidak memberi upah yang layak kepada buruhnya.
Sedangkan secara internal, penerapan etika juga dapat meningkatkan kinerja dan loyalitas karyawan terhadap perusahaan. Menurut penelitian Erni Rusyani (dosen Fak. Ekonomi Unpas Bandung) perusahaan yang tidak perduli pada etikq bisnis, maka kelangsungan hidup perusahaan itu akan terganggu dan akan berdampak pula pada kinerja keuangannya. Hal ini terjadi akibat pihak manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan semata sehingga terjadi penyimpangan norma-norma etis. Segala kompetensi, keterampilan, keahlian, potensi, dan modal lainnya ditujukan sepenuhnya untuk memenangkan kompetisi yang tidak sehat ini.
Di dalam tingkat kompetisi yang sangat tinggi, perusahaan yang dapat bertahan adalah perusahaan yang inovatif, proaktif, dan berani dalam mengambil risiko. Hal ini hanya dapat terjadi jika perusahaan itu memiliki budaya kerja yang suportif. Salah satu syaratnya adalah adanya etika perusahaan.
Sumber : http//www. Etika Bisnis untuk Keberlangsungan Usaha _ Purnawan Kristanto.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar